Jumat, 27 Maret 2009

Hak Pasien memilih Obat Generik

Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Padahal dengan beranggapan demikian, selain merugikan pemerintah, pihak pasien sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat. Yang sebenarnya bisa memperoleh obat dengan harga miring, namun yang terjadi justru mereka harus bayar mahal.

Ingat: membeli obat tidak bisa disamakan dengan membeli barang elektronik atau beli mobil. Umumnya harga barang tersebut sebanding dengan kualitasnya, dimana semakin mahal harganya maka semakin bagus kualitasnya.

Banyak di antara pasien yang bahkan mungkin tidak pernah berpikir ke arah sana, karena kurang paham mengenai golongan obat secara umum.

Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009, secara internasional obat hanya dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.

Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik (generik adalah nama zat berkhasiatnya). Nah, obat generik inipun dibagi lagi menjadi 2 yaitu Obat Generik Berlogo (atau OGB) dan generik bermerk (branded generic).

Tidak ada perbedaan zat berkhasiat antara generik berlogo dengan generik bermerk. Bedanya adalah yang satu diberi merk, satu lagi diberi logo. Obat generik berlogo (lebih umum disebut obat generik saja) adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerk (lebih umum disebut obat bermerk) adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya. “Orang kan makan generiknya bukan mereknya, karena yang menyembuhkan generiknya,” tambah DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Sebagai contoh kasus, dulu teman kost saya harus rela merogoh kantong sebesar Rp 600 ribu untuk menebus resep obat bermerk dari dokter. Tapi setelah dia coba minta diganti dengan obat generik, ternyata habisnya cuma Rp 125 ribu saja. Luar biasa! Sebuah selisih harga yang sangat fantastis! Lalu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa harga obat generik bisa semurah itu?

Harga obat generik lebih murah karena harganya sudah ditetapkan oleh pemerintah agar terjangkau oleh masyarakat. Sedangkan harga obat bermerek (branded) ditetapkan sesuai dengan kebijakan perusahaan farmasi masing-masing-masing. Selain itu biaya promosi obat generik tidak sebesar obat bermerek, sehingga lebih ekonomis.

Hal yang perlu dicatat, bahwa kualitas obat generik tidak berbeda dengan obat bermerek karena diproduksi berdasarkan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam farmakope (buku yang berisi standar bahan baku obat dan obat jadi) walaupun harganya lebih ekonomis; dan antara obat generik dan obat branded tidak ada pebedaannya, baik dari sisi keamanan maupun khasiat, yang membedakan hanya dalam bentuk, warna dan kemasannya yang lebih sederhana dibandingkan dengan obat branded.

"Beda harga obat bermerek dengan obat generik sekitar 40 kali, 80 kali bahkan ada yang sampai 200 kali lipat,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE. Perusahaan farmasi mengklaim bahwa keuntungan tersebut untuk komisi dokter meresepkan obat bermerek. Sebagai perbandingan di luar negeri, harga maksimal obat bermerk diatur hanya 1,2 sampai 2 kali harga obat generik. Tidak mengherankan jika kemudian peredaran obat palsu subur di Indonesia. Hal inilah yang menjadi kendala terbesar mandeknya obat generik di Indonesia.

Menkes mengakui bahwa harga obat di Indonesia termahal di dunia. Ia juga mengatakan faktor yang membuat harga obat mahal karena bahan bakunya diimpor dan harganya memang tinggi. Harga obat di Indonesia bisa mencapai 12 kali harga internasional. Alasannya masih sama: komponen impornya masih banyak dan diperberat dengan harga yang masih saja mahal, dan untuk itu harga yang harus dibayar pasien (sebagai konsumen) juga lebih besar.

Jika kita mau menengok potensi bangsa, tentulah kita tahu bahwa Indonesia dianugerahi keanekaragaman hayati yang kaya sebagai modal utama obat tradisional, tapi tidak tahu bagaimana cara mensyukurinya dan cara mengolahnya. Kita tidak punya standardisasi obat tradisional terlebih dokter-dokter kita dididik untuk memberi resep dengan obat modern yang kebanyakan berbahan kimia. Jadi, wajar jika harga obat sangat mahal di Indonesia.

Sebenarnya ada peluang bagi negara indonesia untuk mengembangkan dari sisi obat tradisional (fitofarmaka, jamu, dan obat herbal standar). Akan tetapi sering kali obat tradisional ini dipandang sebelah mata oleh publik di Indonesia. Padahal negara-negara maju sekarang mulai ‘back to nature’ dan mengembangkan pharmaceutical biotechnology yang lebih alami.

Jika saja pemerintah mau membuka diri mau belajar dari India, banyak institusi kesehatan di sana yang produktif menghasilkan obat berkualitas dengan harga sangat murah. Bagaimana mereka bisa seperti itu? Ternyata hal tersebut tidak didorong oleh pasar, melainkan oleh misi non profit oriented, yang artinya tidak berorientasi pada keuntungan semata.

Sosialisasi dan edukasi ke masyarakat mengenai obat generik menjadi perlu dan wajib untuk dilakukan. Kenali lebih dekat obat generik, maka Anda pasti akan diuntungkan karena meski harga murah tapi mutu tidak kalah.

Coba simak tips untuk berobat ke dokter dari dr. Marius Widjajarta, SE: Mintalah obat generik ketika berobat ke dokter; dan ingatkan dokter bahwa jika dokter tidak memberikan informasi yang benar, jujur dan jelas, maka dokter tersebut melanggar UU No. 8 tahun 1999, tentang perlindungan konsumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar