Jumat, 27 Maret 2009

Masalah Terbesar Obat Generik

Setiap negara wajib menyusun daftar obat esensial (DOEN), sejumlah jenis obat yang paling dibutuhkan di suatu negara, dan yang tergolong sering dipakai. Daftar ini dapat ditambah atau dikurangi oleh pemerintah sesuai kebutuhan negara.

Semakin bijak keputusan menyusun DOEN, semakin diuntungkan pihak konsumen. Lebih bijak kalau jumlah jenis obat yang dinilai layak tidak semakin banyak. Semakin sedikit jenis obat DOEN, semakin rasional obat yang bakal digunakan dalam praktik keseharian.

Namun, yang terjadi sekarang, dan itu sudah lama berlangsung, DOEN kita cenderung tambun. Obat bermerk dan jenis yang sama pun terus bertambah, sehingga membuat bingung dokter saat menulis resep. Kalau ada seratus jenis obat esensial, dan masing-masing jenis obat diproduksi oleh sepuluh merk obat, berapa ribu merk obat yang harus dokter ingat.

Bayangkan kalau untuk obat batuk yang sama tersedia puluhan merek. Duplikasi obat begini yang membuat persaingan harga obat semakin kurang sehat. Siapa merk obat yang berani lebih genit mempengaruhi dokter dan menulis resep, merk itu yang berpotensi menguasai pasar.

“Beda harga obat bermerk dengan obat generik sekitar 40 kali, 80 kali bahkan ada yang sampai 200 kali lipat,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE. Perusahaan farmasi mengklaim bahwa keuntungan tersebut untuk komisi dokter meresepkan obat bermerk. Hal inilah yang menjadi kendala terbesar mandeknya obat generik di Indonesia.

dr. Marius Widjajarta, SE menambahkan bahwa di luar negeri, harga maksimal obat bermerk diatur hanya 1,2-2 kali harga obat generik. Tidak mengherankan jika kemudian peredaran obat palsu subur di Indonesia.

Sebenarnya sejak tahun 2006 kemarin, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) telah mengeluarkan Surat Edaran No. 100/SK/GPFI/2006 tanggal 1 September 2006 yang berisi himbauan kepada perusahaan farmasi untuk menurunkan harga obat bermerk sehingga harganya berkisar 3 kali lipat harga obat generik.

Harga obat generik bermerek (obat bermerk) yang diturunkan meliputi 34 item obat esensial bermerek yang mencakup lebih kurang 1.400 sediaan yang diproduksi berbagai perusahaan farmasi swasta yang merupakan anggota GP Farmasi kecuali Perusahaan Modal Asing (PMA).

Beda dengan Indonesia, pangsa pasar obat generik di negara maju seperti Amerika telah mencapai 40-45%. Di negara maju telah menganut sistem klaim asuransi kesehatan, sedangkan Indonesia masih menganut auto pocket dimana kalau sakit baru bayar biaya pengobatan.

Pada obat bermerek dagang memang dilakukan pemillihan bahan pembantu (bahan tambahan yang digunakan untuk membentuk produk obat selain zat aktif) yang spesial dan kemasan produk yang menawan yang menjadikannya terasa istimewa.

Sedangkan pada obat generik dilakukan penekanan biaya produksi untuk penurunan harga produk. Akan tetapi berkat adanya studi BA dan atau BE, obat generik akan memberikan jaminan keamanan dan khasiat pengobatan walaupun kemungkinan adanya perbedaan sifat fisiko kimia zat aktif yang digunakan (bentuk kristal dan ukuran partikel) pada kedua produk obat tersebut.

Obat Generik Adalah Hak Pasien

Menurut dr. Marius Widjajarta, SE, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menguraikan apa yang menjadi hak-hak seorang pasien, antara lain:

  1. Hak untuk informasi yang benar, jelas dan jujur.
  2. Hak untuk jaminan kemanan dan keselamatan.
  3. Hak untuk ganti rugi.
  4. Hak untuk memilih.
  5. Hak untuk didengar.
  6. Hak untuk mendapatkan advokasi.
  7. Hak-hak yang diatur oleh perundang-undangan.

Tidak tanggung-tanggung, jika melanggar maka sanksi yang menanti pun cukup berat. Pelanggar UU tersebut dapat dikenai denda maksimal 2 milyar dan kurungan maksimal 5 tahun.

Coba simak tips untuk berobat ke dokter dari dr. Marius Widjajarta, SE :“Mintalah obat generik ketika berobat ke dokter dan ingatkan dokter bahwa jika dokter tidak memberikan informasi yang benar, jujur dan jelas maka dokter bisa melanggar UU No. 8 tahun 1999.”

Pasien memiliki hak untuk memilih pengobatan. DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes mengatakan bahwa pasien harus mengingatkan dokter untuk menuliskan resep obat generik.

Jadi tidak ada alasan terutama bagi konsumen yang berkantong tebal untuk ragu dan merasa ‘bersalah’ jika hendak memilih obat generik dengan alasan penghematan. Apalagi dalam kondisi bangsa saat ini yang sedang menderita kronis akibat permasalahan hukum, politik, ekonomi, dan keamanan, di mana diperlukan kecerdasan seorang konsumen dalam memilih pengobatan.

Posted by JAROT at 06:39:43 | Permanent Link | Comments (0) |

Kualitas Obat Generik Tidak Kalah

Orang sering mengira bahwa mutu obat generik kurang dibandingkan obat bermerk. Harganya yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama berkualitasnya dengan obat bermerk.

Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat generik sama dengan obat bermerk. “Orang kan makan generiknya bukan merknya, karena yang menyembuhkan generiknya,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE.

Kualitas obat generik yang disebut ´tidak genit tapi menarik´ oleh dr. Marius ini tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaan farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang disebut uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE). Obat generik dan obat bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan biologi (BE) dengan obat pembanding inovator.

Inovator yang dimaksud adalah obat yang pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di pasaran dengan melalui serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA.

Studi BA dan atau BE seharusnya telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di pasaran baik obat bermerk maupun obat generik. “Namun, pemerintah dalam hal ini BPOM masih fokus pada pelaksanaan CPOB,” ungkap DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

1 komentar:

  1. MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

    Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
    Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
    Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
    Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
    Siapa yang akan mulai??

    David
    HP. (0274)9345675

    BalasHapus