Rabu, 14 Oktober 2009

RUU Kesehatan Tak Memberi Perlindungan Hukum Pasien

Indonesia Corruption Watch 30 Juli 2009 siang mengundang pakar kesehatan dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Firman Lubis untuk mendiskusikan tentang Rancangan Undang-undang Kesehatan. Rancangan Undang-undang ini sebenarnya sudah dari tahun 2000 yang silam masuk ke meja Dewan Perwakilan Rakyat. Namun kata beliau, tidak mengetahui dengan pasti sebenarnya apa yang membuat pembahasannya tidak kunjung selesai. Tertutupnya pembahasan, terutama atas ruang partisipasi masyarakat menambah ketidakpastian akan rancangan undang-undang ini.

“Konon komisi IX DPR selama masa kerja 5 tahun ini belum satu pun produk undang-undang yang dihasilkan. Nah, undang-undang kesehatan ini kemungkinan adalah satu-satunya. Makanya, mereka tidak ingin banyak masukan lagi dan cepat-cepat diketok palu (disahkan)”, ujarnya.
Pertanyaan penting oleh karena ketertutupan pembahasan ini adalah, bagaimana undang-undang ini nantinya akan berpihak pada rakyat jika masyarakat pun tidak dilibatkan untuk bersama-sama dalam pembahasannya.

Beberapa hal krusial yang mengemuka antara lain adalah masih adanya perdebatan pasal tentang aborsi. Mana yang harus didahulukan, hak ibu untuk terus hidup ataukah janin dalam kandungan. Memang dalam rancangan undang-undang tersebut, ada pengkecualian-pengkecualian. Namun pasal ini masih diperdebatkan.

Selanjutnya, pasal tentang ganti rugi dari pihak pasien (pasal 11 ayat 1 RUU Kesehatan) tidak disebutkan adanya perlindungan/bantuan hukum. Padahal salah satu hak dari pasien adalah mendapatkan bantuan hukum. Hal ini penting, agar pasien yang selama ini notabene selalu menjadi pihak yang lemah, tidak dirugikan. Kejadian atau kasus malapraktek mungkin saja akan selalu menjadi momok bagi pasien. Oleh karena itu, akibat dari ketimpangan informasi antara pasien dan tenaga kesehatan (dokter), bantuan hukum untuk pasien penting ketika memang ada tuntutan. Selain alasan tersebut, dalam dalam pasal 29 RUU Kesehatan, ada kata perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan. Pertanyaannya, mengapa hanya tenaga kesehatan saja yang mendapatkan hak untuk perlindungan hukum? Sedangkan pasien tidak?

Point lainnya adalah masalah pembiayaan. Anggaran minimal yang disebutkan dalam rancangan undnag-undang ini sebesar 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanka negara (APBN). Pertanyaan yang penting dan mendasar adalah bagaimanakah alokasi daripada anggaran ini? Jika pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan masih memfokuskan pada alokasi pengadaan barang ataupun gedung atau mungkin perjalanan-perjalanan dinas pegawai, kekhawatiran untuk tidak tercapainya pelayanan kesehatan yang lebih baik akan berlanjut. Hal ini dipandang krusial karena, anggaran untuk kesehatan ini adalah untuk seluruh masyarakat Indonesia. Baik yang sakit maupun yang sehat. Karena kesehatan adalah menjadi hak bagi setiap warga. Oleh karena itu, alokasi-alokasi yang ada hendaknya benar-benar tepat untuk peningkatan akses maupun kualitas pelayanan kesehatan untuk masyarakat. Pendistribusian dan penggunaan dana-dana kesehatan harus diawasi dengan ketat. Tidak boleh lagi ada kebocoran atau korupsi dalam sektor kesehatan.

Di dalama RUU kesehatan ini juga belum ada pasal yang menyiratkan hubungan pabrik obat dengan dokter atau medis lainnya. Padahal hubungan ini (kolusi), adalah salah satu penyebab adanya harga obat yang menaik. Harga obat yang terus naik ini akan berakibat pada akses masyarakat (pasien) untuk kesehatannya. Akan semakin banyak masyarakat yang tidak bisa sembuh dari penyakitnya, hanya karena tidak bisa menjangkau harga obat. Padahal keberadaan obat dapat dikatakan tidak terpisahkan dalam pelayanan kuratif (pengobatan) kesehatan di Indonesia atau bahkan dunia.

Ternyata masih ada banyak hal krusial yang muncul dari diskusi terkait dengan RUU Kesehatan. Keseriusan atas komitmen pemerintah yang akan berganti ini, terhadap kesehatan masyarakat harus direalisasikan. Padahal amanat konstitusi adalah menyebutkan bahwa menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menjamin pelayanan kesehatan bagi tiap warganya. Bahwa kesehatan adalah investasi masa depan pembangunan Indonesia harus menjadi pemahaman bagi seluruh pemegang kebijakan. Rancangan undang-undang ini adalah harapan untuk menjadi satu regulasi yang akan memayungi jalannya kebijakan-kebijakan kesehatan yang akan datang demi terwujudnya masyarakat yang sehat dan sejahtera.