Jumat, 27 Maret 2009

Obat Generik Murah Tetapi MUTU tidak Kalah

Ketika mendengar obat generik, umumnya orang akan langsung mengasumsikannya sebagai obat kelas dua, artinya mutunya kurang bagus. Obat generik pun kerap dicap obat bagi kaum tak mampu. Betulkah asumsi ini?

Faktanya tidak demikian. Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Padahal dengan beranggapan demikian, selain merugikan pemerintah, pihak pasien sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat

Membeli obat tidak bisa disamakan dengan membeli barang elektronik. Umumnya harga barang elektronik sebanding dengan kualitasnya, dimana semakin mahal harganya maka semakin bagus kualitasnya.

Semua obat baru, tentu harus dibayar tinggi untuk jasa penemuannya, yang menjadi hak eksklusifnya. Namun, tidak semua penyakit yang pasien derita memerlukan jenis obat baru.

Edukasi ke masyarakat mengenai obat generik menjadi perlu dan wajib untuk dilakukan. Kenali lebih dekat obat generik, maka Anda akan akan diuntungkan karena meski harga murah tapi mutu tidak kalah.

Masalah Terbesar Obat Generik

Setiap negara wajib menyusun daftar obat esensial (DOEN), sejumlah jenis obat yang paling dibutuhkan di suatu negara, dan yang tergolong sering dipakai. Daftar ini dapat ditambah atau dikurangi oleh pemerintah sesuai kebutuhan negara.

Semakin bijak keputusan menyusun DOEN, semakin diuntungkan pihak konsumen. Lebih bijak kalau jumlah jenis obat yang dinilai layak tidak semakin banyak. Semakin sedikit jenis obat DOEN, semakin rasional obat yang bakal digunakan dalam praktik keseharian.

Namun, yang terjadi sekarang, dan itu sudah lama berlangsung, DOEN kita cenderung tambun. Obat bermerk dan jenis yang sama pun terus bertambah, sehingga membuat bingung dokter saat menulis resep. Kalau ada seratus jenis obat esensial, dan masing-masing jenis obat diproduksi oleh sepuluh merk obat, berapa ribu merk obat yang harus dokter ingat.

Bayangkan kalau untuk obat batuk yang sama tersedia puluhan merek. Duplikasi obat begini yang membuat persaingan harga obat semakin kurang sehat. Siapa merk obat yang berani lebih genit mempengaruhi dokter dan menulis resep, merk itu yang berpotensi menguasai pasar.

“Beda harga obat bermerk dengan obat generik sekitar 40 kali, 80 kali bahkan ada yang sampai 200 kali lipat,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE. Perusahaan farmasi mengklaim bahwa keuntungan tersebut untuk komisi dokter meresepkan obat bermerk. Hal inilah yang menjadi kendala terbesar mandeknya obat generik di Indonesia.

dr. Marius Widjajarta, SE menambahkan bahwa di luar negeri, harga maksimal obat bermerk diatur hanya 1,2-2 kali harga obat generik. Tidak mengherankan jika kemudian peredaran obat palsu subur di Indonesia.

Sebenarnya sejak tahun 2006 kemarin, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) telah mengeluarkan Surat Edaran No. 100/SK/GPFI/2006 tanggal 1 September 2006 yang berisi himbauan kepada perusahaan farmasi untuk menurunkan harga obat bermerk sehingga harganya berkisar 3 kali lipat harga obat generik.

Harga obat generik bermerek (obat bermerk) yang diturunkan meliputi 34 item obat esensial bermerek yang mencakup lebih kurang 1.400 sediaan yang diproduksi berbagai perusahaan farmasi swasta yang merupakan anggota GP Farmasi kecuali Perusahaan Modal Asing (PMA).

Beda dengan Indonesia, pangsa pasar obat generik di negara maju seperti Amerika telah mencapai 40-45%. Di negara maju telah menganut sistem klaim asuransi kesehatan, sedangkan Indonesia masih menganut auto pocket dimana kalau sakit baru bayar biaya pengobatan.

Pada obat bermerek dagang memang dilakukan pemillihan bahan pembantu (bahan tambahan yang digunakan untuk membentuk produk obat selain zat aktif) yang spesial dan kemasan produk yang menawan yang menjadikannya terasa istimewa.

Sedangkan pada obat generik dilakukan penekanan biaya produksi untuk penurunan harga produk. Akan tetapi berkat adanya studi BA dan atau BE, obat generik akan memberikan jaminan keamanan dan khasiat pengobatan walaupun kemungkinan adanya perbedaan sifat fisiko kimia zat aktif yang digunakan (bentuk kristal dan ukuran partikel) pada kedua produk obat tersebut.

Obat Generik Adalah Hak Pasien

Menurut dr. Marius Widjajarta, SE, UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menguraikan apa yang menjadi hak-hak seorang pasien, antara lain:

  1. Hak untuk informasi yang benar, jelas dan jujur.
  2. Hak untuk jaminan kemanan dan keselamatan.
  3. Hak untuk ganti rugi.
  4. Hak untuk memilih.
  5. Hak untuk didengar.
  6. Hak untuk mendapatkan advokasi.
  7. Hak-hak yang diatur oleh perundang-undangan.

Tidak tanggung-tanggung, jika melanggar maka sanksi yang menanti pun cukup berat. Pelanggar UU tersebut dapat dikenai denda maksimal 2 milyar dan kurungan maksimal 5 tahun.

Coba simak tips untuk berobat ke dokter dari dr. Marius Widjajarta, SE :“Mintalah obat generik ketika berobat ke dokter dan ingatkan dokter bahwa jika dokter tidak memberikan informasi yang benar, jujur dan jelas maka dokter bisa melanggar UU No. 8 tahun 1999.”

Pasien memiliki hak untuk memilih pengobatan. DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes mengatakan bahwa pasien harus mengingatkan dokter untuk menuliskan resep obat generik.

Jadi tidak ada alasan terutama bagi konsumen yang berkantong tebal untuk ragu dan merasa ‘bersalah’ jika hendak memilih obat generik dengan alasan penghematan. Apalagi dalam kondisi bangsa saat ini yang sedang menderita kronis akibat permasalahan hukum, politik, ekonomi, dan keamanan, di mana diperlukan kecerdasan seorang konsumen dalam memilih pengobatan.

Posted by JAROT at 06:39:43 | Permanent Link | Comments (0) |

Kualitas Obat Generik Tidak Kalah

Orang sering mengira bahwa mutu obat generik kurang dibandingkan obat bermerk. Harganya yang terbilang murah membuat masyarakat tidak percaya bahwa obat generik sama berkualitasnya dengan obat bermerk.

Padahal generik atau zat berkhasiat yang dikandung obat generik sama dengan obat bermerk. “Orang kan makan generiknya bukan merknya, karena yang menyembuhkan generiknya,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE.

Kualitas obat generik yang disebut ´tidak genit tapi menarik´ oleh dr. Marius ini tidak kalah dengan obat bermerk karena dalam memproduksinya perusahaan farmasi bersangkutan harus melengkapi persyaratan ketat dalam Cara-cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) yang dikeluarkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Selain itu juga ada persyaratan untuk obat yang disebut uji Bioavailabilitas/Bioekivalensi (BA/BE). Obat generik dan obat bermerk yang diregistrasikan ke BPOM harus menunjukkan kesetaraan biologi (BE) dengan obat pembanding inovator.

Inovator yang dimaksud adalah obat yang pertama kali dikembangkan dan berhasil muncul di pasaran dengan melalui serangkaian pengujian, termasuk pengujian BA.

Studi BA dan atau BE seharusnya telah dilakukan terhadap semua produk obat yang berada di pasaran baik obat bermerk maupun obat generik. “Namun, pemerintah dalam hal ini BPOM masih fokus pada pelaksanaan CPOB,” ungkap DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Hak Pasien memilih Obat Generik

Kurangnya informasi seputar obat generik adalah salah satu faktor penyebab obat generik dipandang sebelah mata. Padahal dengan beranggapan demikian, selain merugikan pemerintah, pihak pasien sendiri menjadi tidak efisien dalam membeli obat. Yang sebenarnya bisa memperoleh obat dengan harga miring, namun yang terjadi justru mereka harus bayar mahal.

Ingat: membeli obat tidak bisa disamakan dengan membeli barang elektronik atau beli mobil. Umumnya harga barang tersebut sebanding dengan kualitasnya, dimana semakin mahal harganya maka semakin bagus kualitasnya.

Banyak di antara pasien yang bahkan mungkin tidak pernah berpikir ke arah sana, karena kurang paham mengenai golongan obat secara umum.

Menurut DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009, secara internasional obat hanya dibagi menjadi menjadi 2 yaitu obat paten dan obat generik.

Obat paten adalah obat yang baru ditemukan berdasarkan riset dan memiliki masa paten yang tergantung dari jenis obatnya. Menurut UU No. 14 Tahun 2001 masa berlaku paten di Indonesia adalah 20 tahun. Selama 20 tahun itu, perusahaan farmasi tersebut memiliki hak eksklusif di Indonesia untuk memproduksi obat yang dimaksud. Perusahaan lain tidak diperkenankan untuk memproduksi dan memasarkan obat serupa kecuali jika memiliki perjanjian khusus dengan pemilik paten.

Setelah obat paten berhenti masa patennya, obat paten kemudian disebut sebagai obat generik (generik adalah nama zat berkhasiatnya). Nah, obat generik inipun dibagi lagi menjadi 2 yaitu Obat Generik Berlogo (atau OGB) dan generik bermerk (branded generic).

Tidak ada perbedaan zat berkhasiat antara generik berlogo dengan generik bermerk. Bedanya adalah yang satu diberi merk, satu lagi diberi logo. Obat generik berlogo (lebih umum disebut obat generik saja) adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan obat, sedangkan obat generik bermerk (lebih umum disebut obat bermerk) adalah obat yang diberi merk dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya. “Orang kan makan generiknya bukan mereknya, karena yang menyembuhkan generiknya,” tambah DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes.

Sebagai contoh kasus, dulu teman kost saya harus rela merogoh kantong sebesar Rp 600 ribu untuk menebus resep obat bermerk dari dokter. Tapi setelah dia coba minta diganti dengan obat generik, ternyata habisnya cuma Rp 125 ribu saja. Luar biasa! Sebuah selisih harga yang sangat fantastis! Lalu yang menjadi pertanyaan adalah mengapa harga obat generik bisa semurah itu?

Harga obat generik lebih murah karena harganya sudah ditetapkan oleh pemerintah agar terjangkau oleh masyarakat. Sedangkan harga obat bermerek (branded) ditetapkan sesuai dengan kebijakan perusahaan farmasi masing-masing-masing. Selain itu biaya promosi obat generik tidak sebesar obat bermerek, sehingga lebih ekonomis.

Hal yang perlu dicatat, bahwa kualitas obat generik tidak berbeda dengan obat bermerek karena diproduksi berdasarkan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam farmakope (buku yang berisi standar bahan baku obat dan obat jadi) walaupun harganya lebih ekonomis; dan antara obat generik dan obat branded tidak ada pebedaannya, baik dari sisi keamanan maupun khasiat, yang membedakan hanya dalam bentuk, warna dan kemasannya yang lebih sederhana dibandingkan dengan obat branded.

"Beda harga obat bermerek dengan obat generik sekitar 40 kali, 80 kali bahkan ada yang sampai 200 kali lipat,” ungkap dr. Marius Widjajarta, SE. Perusahaan farmasi mengklaim bahwa keuntungan tersebut untuk komisi dokter meresepkan obat bermerek. Sebagai perbandingan di luar negeri, harga maksimal obat bermerk diatur hanya 1,2 sampai 2 kali harga obat generik. Tidak mengherankan jika kemudian peredaran obat palsu subur di Indonesia. Hal inilah yang menjadi kendala terbesar mandeknya obat generik di Indonesia.

Menkes mengakui bahwa harga obat di Indonesia termahal di dunia. Ia juga mengatakan faktor yang membuat harga obat mahal karena bahan bakunya diimpor dan harganya memang tinggi. Harga obat di Indonesia bisa mencapai 12 kali harga internasional. Alasannya masih sama: komponen impornya masih banyak dan diperberat dengan harga yang masih saja mahal, dan untuk itu harga yang harus dibayar pasien (sebagai konsumen) juga lebih besar.

Jika kita mau menengok potensi bangsa, tentulah kita tahu bahwa Indonesia dianugerahi keanekaragaman hayati yang kaya sebagai modal utama obat tradisional, tapi tidak tahu bagaimana cara mensyukurinya dan cara mengolahnya. Kita tidak punya standardisasi obat tradisional terlebih dokter-dokter kita dididik untuk memberi resep dengan obat modern yang kebanyakan berbahan kimia. Jadi, wajar jika harga obat sangat mahal di Indonesia.

Sebenarnya ada peluang bagi negara indonesia untuk mengembangkan dari sisi obat tradisional (fitofarmaka, jamu, dan obat herbal standar). Akan tetapi sering kali obat tradisional ini dipandang sebelah mata oleh publik di Indonesia. Padahal negara-negara maju sekarang mulai ‘back to nature’ dan mengembangkan pharmaceutical biotechnology yang lebih alami.

Jika saja pemerintah mau membuka diri mau belajar dari India, banyak institusi kesehatan di sana yang produktif menghasilkan obat berkualitas dengan harga sangat murah. Bagaimana mereka bisa seperti itu? Ternyata hal tersebut tidak didorong oleh pasar, melainkan oleh misi non profit oriented, yang artinya tidak berorientasi pada keuntungan semata.

Sosialisasi dan edukasi ke masyarakat mengenai obat generik menjadi perlu dan wajib untuk dilakukan. Kenali lebih dekat obat generik, maka Anda pasti akan diuntungkan karena meski harga murah tapi mutu tidak kalah.

Coba simak tips untuk berobat ke dokter dari dr. Marius Widjajarta, SE: Mintalah obat generik ketika berobat ke dokter; dan ingatkan dokter bahwa jika dokter tidak memberikan informasi yang benar, jujur dan jelas, maka dokter tersebut melanggar UU No. 8 tahun 1999, tentang perlindungan konsumen.

Obat Generik Dipastikan Naik Th 2009

BANDUNG -- Ongkos kesehatan akan makin mencekik rakyat miskin negeri ini. Harga obat generik pada 2009 dipastikan naik. `'Harga obatnya memang pasti naik karena pengaruh dolar,'' ungkap Menteri Kesehatan, Siti Fadillah Supari, pada acara Dewan Kesehatan Rakyat, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/12).

Namun, agar masyarakat tidak merasakan kenaikan harga obat nonpaten yang dirancang supaya harganya terjangkau rakyat miskin itu, Departemen Kesehatan masih mengkaji rencana pemberian subsidi kepada perusahaan BUMN farmasi yang memproduksinya. ''Pembahasan akan dilakukan cepat karena 2009 sudah dekat,'' kata Menkes.

Sebelumnya diberitakan bahwa kenaikan harga bahan baku, melemahnya rupiah, dan naiknya suku bunga perbankan membuat perusahaan BUMN farmasi terancam kolaps. Untuk mencegah itu, BUMN farmasi akan menaikkan harga obat generik. Menkes menjelaskan, ada dua opsi yang mengemuka, yakni memberikan subsidi atau harga obat generik naik. Opsi subsidi merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan biaya produksi, terlebih harga obat generik ditetapkan berdasarkan standar Depkes RI.

Kenaikan harga obat generik terakhir terjadi pada 2003 berdasarkan SK Menteri Kesehatan No 1112/Menkes/SK/VII/2003. Kenaikan itu disebabkan kenaikan beberapa komponen biaya struktur produksi, antara lain, harga bahan baku, kemasan, dan overhead atau biaya operasional.

Kebutuhan subsidi
Dari perhitungan BUMN farmasi, kebutuhan subsidi mencapai Rp 300 miliar. Angka itu dihitung dari kebutuhan bahan baku obat yang masih impor sebesar 10 juta dolar AS dikalikan selisih dolar Rp 3.000 per dolar AS (dulu Rp 9.000 kini Rp 12 ribu). Subsidi seperti ini pernah dilakukan pada 1998 sebesar Rp 5.000 saat kurs dolar AS Rp 15 ribu.

Direktur Utama Kimia Farma, Syamsul Arifin, menjelaskan, pada tahun ini kerugian BUMN farmasi hanya diperoleh dari selisih kurs dolar. ''Karena bahan baku obat generik masih impor, pembelian menggunakan dolar. Saat melakukan pemesanan, harga dolar masih Rp 9.000, sedangkan saat jatuh tempo pembayaran utang, harga dolar capai Rp 12 ribu, tuturnya.

Kerugian Kimia Farma akibat selisih dolar ini mencapai Rp 3 miliar, dan Indo Farma Rp 17 miliar. Kondisi ini lebih baik, karena kebutuhan bahan baku triwulan akhir 2008 yang kebanyakan dibeli dari Cina dan India ini sudah terpenuhi. Kini, persoalannya ada pada bahan baku 2009 yang kemungkinan besar akan naik seiring krisis ekonomi global.

`'Kita tidak punya dana cash untuk beli, bukannya tidak mau memproduksi obat,'' cetus Syamsul. Bagaimanapun, produksi obat tidak mungkin dikurangi. Selain karena akan mengalami kerugian dari sisi pabrik, masyarakat pun membutuhkan obat generik yang manfaatnya sama, namun harganya sangat miring. Obat generik adalah obat yang khasiatnya sama persis seperti obat paten dengan komposisi yang serupa. Yang membedakan harganya antara langit dan bumi adalah cerita di balik pembuatan dan pemasarannya. ren.

Obat Generik Dpastikan Naik Th 2009

BANDUNG -- Ongkos kesehatan akan makin mencekik rakyat miskin negeri ini. Harga obat generik pada 2009 dipastikan naik. `'Harga obatnya memang pasti naik karena pengaruh dolar,'' ungkap Menteri Kesehatan, Siti Fadillah Supari, pada acara Dewan Kesehatan Rakyat, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/12).

Namun, agar masyarakat tidak merasakan kenaikan harga obat nonpaten yang dirancang supaya harganya terjangkau rakyat miskin itu, Departemen Kesehatan masih mengkaji rencana pemberian subsidi kepada perusahaan BUMN farmasi yang memproduksinya. ''Pembahasan akan dilakukan cepat karena 2009 sudah dekat,'' kata Menkes.

Sebelumnya diberitakan bahwa kenaikan harga bahan baku, melemahnya rupiah, dan naiknya suku bunga perbankan membuat perusahaan BUMN farmasi terancam kolaps. Untuk mencegah itu, BUMN farmasi akan menaikkan harga obat generik. Menkes menjelaskan, ada dua opsi yang mengemuka, yakni memberikan subsidi atau harga obat generik naik. Opsi subsidi merupakan salah satu jalan untuk meningkatkan biaya produksi, terlebih harga obat generik ditetapkan berdasarkan standar Depkes RI.

Kenaikan harga obat generik terakhir terjadi pada 2003 berdasarkan SK Menteri Kesehatan No 1112/Menkes/SK/VII/2003. Kenaikan itu disebabkan kenaikan beberapa komponen biaya struktur produksi, antara lain, harga bahan baku, kemasan, dan overhead atau biaya operasional.

Kebutuhan subsidi
Dari perhitungan BUMN farmasi, kebutuhan subsidi mencapai Rp 300 miliar. Angka itu dihitung dari kebutuhan bahan baku obat yang masih impor sebesar 10 juta dolar AS dikalikan selisih dolar Rp 3.000 per dolar AS (dulu Rp 9.000 kini Rp 12 ribu). Subsidi seperti ini pernah dilakukan pada 1998 sebesar Rp 5.000 saat kurs dolar AS Rp 15 ribu.

Direktur Utama Kimia Farma, Syamsul Arifin, menjelaskan, pada tahun ini kerugian BUMN farmasi hanya diperoleh dari selisih kurs dolar. ''Karena bahan baku obat generik masih impor, pembelian menggunakan dolar. Saat melakukan pemesanan, harga dolar masih Rp 9.000, sedangkan saat jatuh tempo pembayaran utang, harga dolar capai Rp 12 ribu, tuturnya.

Kerugian Kimia Farma akibat selisih dolar ini mencapai Rp 3 miliar, dan Indo Farma Rp 17 miliar. Kondisi ini lebih baik, karena kebutuhan bahan baku triwulan akhir 2008 yang kebanyakan dibeli dari Cina dan India ini sudah terpenuhi. Kini, persoalannya ada pada bahan baku 2009 yang kemungkinan besar akan naik seiring krisis ekonomi global.

`'Kita tidak punya dana cash untuk beli, bukannya tidak mau memproduksi obat,'' cetus Syamsul. Bagaimanapun, produksi obat tidak mungkin dikurangi. Selain karena akan mengalami kerugian dari sisi pabrik, masyarakat pun membutuhkan obat generik yang manfaatnya sama, namun harganya sangat miring. Obat generik adalah obat yang khasiatnya sama persis seperti obat paten dengan komposisi yang serupa. Yang membedakan harganya antara langit dan bumi adalah cerita di balik pembuatan dan pemasarannya. ren.

Minggu, 15 Maret 2009

Kode ETIK Apoteker Indonesia

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA

MUKADIMAH

Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa

Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.

Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu :

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA

BAB I

KEWAJIBAN UMUM

Pasal 1

Sumpah/Janji

Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker.

Pasal 2

Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.

Pasal 3

Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.

Pasal 4

Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.

Pasal 5

Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

Pasal 6

Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.

Pasal 7

Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.

Pasal 8

Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di Bidang Kesehatan pada umumnya dan di Bidang Farmasi pada khususnya.

BAB II

KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PENDERITA

Pasal 9

Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani.

BAB III

KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT

Pasal 10

Setiap Apoteker harus memperlakukan Teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 11

Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik.

Pasal 12

Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

BAB IV

KEWAJIBAN APOTEKER/FARMASIS TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAINNYA

Pasal 13

Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan.

Pasal 14

Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.

BAB V

PENUTUP

Pasal 15

Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun idtak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka Apoteker tersebut wajib mengakui danmenerima sanksi dari pemerintah, Ikatan/Organisasi Profesi Farmasi yang menanganinya yaitu ISFI dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Ditetapkan di :Denpasar

Pada tanggal:18 Juni 2005